06.35 -
No comments
PERAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT
PERAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT
Posted on Februari 4, 2011 by septikoaji
Pendidikan adalah suatu usaha sadar
manusia mempersiapkan generasi mudanya. Dalam mempersiapkan generasi
muda tersebut, pendidikan harus mulai dari apa yang sudah memilikinya
dan apa yang sudah diketahuinya. Apa yang sudah dimilikinya dan sudah
diketahuinya itu adalah apa yang terdapat pada lingkungan terdekat
peserta didik terutama pada lingkungan budayanya. Prinsip ini berkenaan
dengan cara bagaimana peserta didik belajar.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam
lingkungan terdekat peserta didik akan selalu berpengaruh terhadap
kehidupan peserta didik. Pengaruh itu terkadang positif tetapi tidak
jarang pula bersifat negative. Sebagai upaya sadar, pendidikan haruslah
memperkuat dan mengembangkan pengaruh positif dan mengurangi pengaruh
negative tersebut. Pengaruh positif diarahkan untuk mempertahankan dan
meningkatkan nilai-nilai budaya masyarakat dan bangsa untuk menjadi
sesuatu menjadi suatu kepribadian baru peserta didik. Dalam bahasa
undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa pendidikan berfungsi untuk “mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermatabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”.
1. Pentingnya Pendidikan Multikultural
Jika dikaji lebih lanjut maka dunia
pendidikan Indonesia tidak saja harus berlandaskan pada kebudayaan
tetapi juga harus berhadapan dengan tugas harus mengembangkan berbagai
budaya yang ada di tnah air dan menjadi bagian dari kehidupan peserta
didik. Dalam realita sosial-budaya yang demikian maka pendidikan
multikultural merupakan suatu kenyataan yang tak dapat dihindari. Hasan
(2006) mengungkapkan ada lima alasan mengapa pendidikan multikultural
diperlukan yaitu :
a. Perubahan kehidupan manusia
Indonesia yang disebabkan kemajuan ekonomi memperbesar jurang sosial
antara kelompok aras dan kelompok bawah.
b. Adanya perpindahan dan mobilitas
penduduk yang cukup tinggi. Perpindahan dan mobilitas yang tinggi
menyebabkan adanya pertmemuan yang sering dan intens antara kelompok
dengan budaya yang berbeda.
c. Semakin terbukanya daerah-daerah pedesaan.
d. Berbagai konflik sosial budaya
yang muncul akhir-akhir ini memperlihatkan adanya kesalahfahaman budaya
yang sangat besar antara kelompok yang bertikai. Dampak dari pertikaian
itu menyakitkan kedua bekah oihak dan memerlukan upaya pendidikan untuk
memperbaikinya.
e. Menghapus mitos dan tafsiran
sejarah yang tidak menguntungkan bagi persatuan bangsa. Berbagai
peristiwa mitos sejarah sangat merugikan hubungan antara kelompok budaya
yang ada di Indonesia.
2. Pendidikan Multikultural sebagai Pengembang Kurikulum
Pendidikan multikultur adalah pendidikan
nilai yang harus ditanamkan pada siswa sebagai calon warga negara, agar
memiliki persepsi dan sikap multikulturalistik, bisa hidup berdampingan
dalam keragaman watak kultur, agama dan bahasa, menghormati hak setiap
warga negara tanpa membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat
bersama-sama membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam
percaturan global dan nation dignity yang kuat.
Oleh karena itu, pengembangan kurikulum
dengan menggunakan pendekatan pengembangan multikultural harus
didasarkan pada empat prinsip. Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua,
keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan berbagai komponen
kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi. Ketiga,
budaya dilingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek
studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat,
kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah
dan nasional.
Implementasi pendidikan multikultur pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah, dapat dilakukan secara
komprehensif melalui pendidikan kewargaan dan melalui Pendidikan Agama,
dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan
atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak
mulia, memiliki intensitas untuk membina dan mengembangkan kerukunan
hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan pada berbagai
kompetensi dasar sebagaimana telah terpapar di atas. Kemudian, juga
harus dilakukan dalam pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan,
kemudian dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, norma hukum, etik,
maupun norma sosial kemasyarakatan.
3. Pendidikan Multikultural sebagai Solusi Ancaman Keberagaman
Kata kunci istilah multicultural adalah
kebudayaan. Meskipun istilah itu sampai saat ini masih menjadi
perdebatan, tetapi tampaknya ada semacam kesepakatan bahwa kebudayaan
merupakan bahasa, sejarah, kepercayaan, nilai moral, asal-usul geografis
dan segara sesuatu yang khas dimilikioleh kelompok (Pradipto, 2005:
15). Kebudayaan tentu saja berbeda antara kelompok satu dengan yang lain
dengan cirri khasnya masing-masing.
Sebenarnya keanekaragaman budaya yang
terjadi di dalam masyarakat Indonesia telah disadari dan dikenal sejak
nenek moyang. Nilai-nilai luhur telah mewatak di antara anggota
masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan nilai moral ketimuran yang dapat
dibanggakan. Adanya sikap gotong royong, saling menghargai satu sarna
lain, mendahulukan kepentingan bersama dan kebersamaan merupakan pola
perilaku yang mendarah daging kala itu. Keanekaragaman budaya Indonesis
kemudian dikukuhkan di dalam Undangundang Dasar 1945. Pemerintahan Orde
baru bahkan menanamkan slogan Bhinneka Tunggal Ika dengan persepsi yang
kurang tepal Keragaman yang pada hakekatnya perlu adanya pemahaman
multikultural justru dibelokkan dengan munculnya monokultural.
Keberagaman tersebut diharapkan tetap berada dalan satu keutuhan dan
kesatuan. Untuk itu adanya keberagaman itu sendiri menjadi kabur. Dalam
hal ini, ada tarik-menarik kekuatan monokulturalisme dan
multikulturalisme dalam konteks pengelolaan negara. Kesatuan, di satu
sisi diperlukan sebagai kekuatan dala pengelolaan negara dan sebagai
identitas nasional. Keberagaman, di sisi yang lain dapat membentuk
negara. Monokulturalisme muncul dari kebutuhan untuk mempersatukan
budaya yang berbeda. Multikulturalisme justru semakin kuat dengan
mengedepankan kepentingan masing-masing budaya lokal.
Pendidikan multikultural merupakan
serangkaian konsep, petunjuk tingkah laku dan arena yang secara resmi
diformulasi melalui kurikulum, regulasi, metode pembelajaran, kemampuan
guru, hubungan antar sekolah dan masyarakat dalam istilah
multikulturalisme (Kusmaryani, 2006). Pendidikan yang mengedepankan isu
keberagaman dalam masyarakat menjadi inti dari pendidikan multikultural.
Pendidikan ini lebih menekankan pada penanaman moral dibandingkan
dengan pola-pola pendidikan birokratis yang lebih mengorientasikan pada
tampilan kecerdasan pikiran.
Pendidikan multikultural dipandang
sebagai proses belajar altematif yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan
kebudayaan lokal. Kebijakan otonomi pendidikan mendukung upaya yang
mengedepankan kepentingan dan keberagaman lokal. Tantangan bagi
pendidikan justru muncul ketika dihadapkan pada upaya mempertahankan
keutuhan negara. Sekolah seringkali menjadi alat bagi dominansi otoritas
nasional yang memikul beban untuk menjaga integrasi bangsa melalui
pengajaran. Adanya kurikulum nasional dan standardisasi ujian merupakan
contoh konkrit dari kasus tersebul Hal itu berangkat dari asumsi bahwa
keberagaman harus tetap berada dalam keutuhan dan kesatuan, yang pada
akhimya memunculkan monokulturalisme.
4. Pendidikan Multikultural sebagai Penanaman Moral
Dalam membentuk perilaku moral seseorang,
proses-proses belajar memegang peranan penting. Untuk itu, pengaruh
lingkungan sebagai tempat melakukan proses belajar sangat berpengaruh
terhadap perkembangan moral. Lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat
ikut memberikan kontribusi yang pantas diperhitungkan. Lingkungan
sekolah, terutama, menjadi institusi sentral yang diharapkan dapat
memberikan pendidikan moral. Pada kenyataannya, ada semacam
kecenderungan bahwa institusi sekolah terjebak dengan birokrasi
persekolahan dan birokrasi kehidupan. Birokrasi tersebut melumpuhkan dan
bahkan mematikan alam pikiran merdeka individu dan masyarakat
organisasi. Pendidikan moral dan pembentukan moral tidak lagi menjadi
komitmen. Orientasi dan perilaku moral dikesampingkan digantikan oleh
kecerdasan pikiran, keahlian dan berbagai perilaku tampil di lapisan
luar.
Dalam pendidikan multikultural,
nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan perlu ditanamkan. Kusmaryani
(2006) mengungkapkan sikap superioritas yang justru menghambat pemahaman
akan keberagaman perlu dihilangkan. Hal ini seringkali terkait dengan
kesukuan, ras, agama, jender dan sebagainya. Kelompok tertentu
diharapkan tidak merasa lebih tinggi dari kelompok lain. Untuk itu,
kerja belajar kooperatif dan kolaboratif dikembangkan secara aktif dalam
memberikan kesadaran akan kesetaraan dan kebersamaan tersebut. Kerja
belajar seperti itu akan membiasakan untuk berinteraksi dengan kelompok
lain yang memiliki perbedaan. Seseorang akan berupaya bagaimana
menyelesaikan tugas-tugas belajar untuk mencapai tujuan yang sarna,
meskipun dari kelompok yang berbeda-beda. Kondisi ini memaksa seseorang
untuk lebih memahami kelompok lain maupun orang lain agar tujuan dapat
tercapai dengan baik.
Kesadaran nilai kemanusiaan juga menjadi
hal yang penting. Perlunya pemahaman akan adanya eksistensi manusia
secara utuh. Memahami manusia dengan keberadaanya perlu menyadari bahwa
manusia memiliki kemerdekaan yang perlu dihargai. Untuk itu, semua yang
ada dalam diri manusia penting untuk dipahami ketika berinteraksi dengan
manusia lainnya. Cara berpikir demikian akan memberikan konsekuensi
munculnya perilaku interaktif yang positif. Perilaku tersebut seperti
misalnya penghargaan terhadap orang lain, kesediaan untuk bergotong
royong, tidak menghakimi orang lain, empati dan sebagainya. Perilaku
moral yang demikian tampaknya perlu dijaga dan dilestarikan.