Kalam Qolbu

Rabu, 23 Mei 2012

06.35 - No comments

PERAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT

PERAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT

Pendidikan adalah suatu usaha sadar manusia mempersiapkan generasi mudanya. Dalam mempersiapkan generasi muda tersebut, pendidikan harus mulai dari apa yang sudah memilikinya dan apa yang sudah diketahuinya. Apa yang sudah dimilikinya dan sudah diketahuinya itu adalah apa yang terdapat pada lingkungan terdekat peserta didik terutama pada lingkungan budayanya. Prinsip ini berkenaan dengan cara bagaimana peserta didik belajar.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan terdekat peserta didik akan selalu berpengaruh terhadap kehidupan peserta didik. Pengaruh itu terkadang positif tetapi tidak jarang pula bersifat negative. Sebagai upaya sadar, pendidikan haruslah memperkuat dan mengembangkan pengaruh positif dan mengurangi pengaruh negative tersebut. Pengaruh positif diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai budaya masyarakat dan bangsa untuk menjadi sesuatu menjadi suatu kepribadian baru peserta didik. Dalam bahasa undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan berfungsi untuk “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
1.      Pentingnya Pendidikan Multikultural
Jika dikaji lebih lanjut maka dunia pendidikan Indonesia tidak saja harus berlandaskan pada kebudayaan tetapi juga harus berhadapan dengan tugas harus mengembangkan berbagai budaya yang ada di tnah air dan menjadi bagian dari kehidupan peserta didik. Dalam realita sosial-budaya yang demikian maka pendidikan multikultural merupakan suatu kenyataan yang tak dapat dihindari. Hasan (2006) mengungkapkan ada lima alasan mengapa pendidikan multikultural diperlukan yaitu :
a.       Perubahan kehidupan manusia Indonesia yang disebabkan kemajuan ekonomi memperbesar jurang sosial antara kelompok aras dan kelompok bawah.
b.      Adanya perpindahan dan mobilitas penduduk yang cukup tinggi. Perpindahan dan mobilitas yang tinggi menyebabkan adanya pertmemuan yang sering dan intens antara kelompok dengan budaya yang berbeda.
c.       Semakin terbukanya daerah-daerah pedesaan.
d.      Berbagai konflik sosial budaya yang muncul akhir-akhir ini memperlihatkan adanya kesalahfahaman budaya yang sangat besar antara kelompok yang bertikai. Dampak dari pertikaian itu menyakitkan kedua bekah oihak dan memerlukan upaya pendidikan untuk memperbaikinya.
e.       Menghapus mitos dan tafsiran sejarah yang tidak menguntungkan bagi persatuan bangsa. Berbagai peristiwa mitos sejarah sangat merugikan hubungan antara kelompok budaya yang ada di Indonesia.

2.      Pendidikan Multikultural sebagai Pengembang Kurikulum
Pendidikan multikultur adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada siswa sebagai calon warga negara, agar memiliki persepsi dan sikap multikulturalistik, bisa hidup berdampingan dalam keragaman watak kultur, agama dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat bersama-sama membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam percaturan global dan nation dignity yang kuat.
Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan pengembangan multikultural harus didasarkan pada empat prinsip. Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua, keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat, kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan nasional.
Implementasi pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan kewargaan dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak mulia, memiliki intensitas untuk membina dan mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan pada berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah terpapar di atas. Kemudian, juga harus dilakukan dalam pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma sosial kemasyarakatan.

3.      Pendidikan Multikultural sebagai Solusi Ancaman Keberagaman
Kata kunci istilah multicultural adalah kebudayaan. Meskipun istilah itu sampai saat ini masih menjadi perdebatan, tetapi tampaknya ada semacam kesepakatan bahwa kebudayaan merupakan bahasa, sejarah, kepercayaan, nilai moral, asal-usul geografis dan segara sesuatu yang khas dimilikioleh kelompok (Pradipto, 2005: 15). Kebudayaan tentu saja berbeda antara kelompok satu dengan yang lain dengan cirri khasnya masing-masing.
Sebenarnya keanekaragaman budaya yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia telah disadari dan dikenal sejak nenek moyang. Nilai-nilai luhur telah mewatak di antara anggota masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan nilai moral ketimuran yang dapat dibanggakan. Adanya sikap gotong royong, saling menghargai satu sarna lain, mendahulukan kepentingan bersama dan kebersamaan merupakan pola perilaku yang mendarah daging kala itu. Keanekaragaman budaya Indonesis kemudian dikukuhkan di dalam Undangundang Dasar 1945. Pemerintahan Orde baru bahkan menanamkan slogan Bhinneka Tunggal Ika dengan persepsi yang kurang tepal Keragaman yang pada hakekatnya perlu adanya pemahaman multikultural justru dibelokkan dengan munculnya monokultural. Keberagaman tersebut diharapkan tetap berada dalan satu keutuhan dan kesatuan. Untuk itu adanya keberagaman itu sendiri menjadi kabur. Dalam hal ini, ada tarik-menarik kekuatan monokulturalisme dan multikulturalisme dalam konteks pengelolaan negara. Kesatuan, di satu sisi diperlukan sebagai kekuatan dala pengelolaan negara dan sebagai identitas nasional. Keberagaman, di sisi yang lain dapat membentuk negara. Monokulturalisme muncul dari kebutuhan untuk mempersatukan budaya yang berbeda. Multikulturalisme justru semakin kuat dengan mengedepankan kepentingan masing-masing budaya lokal.
Pendidikan multikultural merupakan serangkaian konsep, petunjuk tingkah laku dan arena yang secara resmi diformulasi melalui kurikulum, regulasi, metode pembelajaran, kemampuan guru, hubungan antar sekolah dan masyarakat dalam istilah multikulturalisme (Kusmaryani, 2006). Pendidikan yang mengedepankan isu keberagaman dalam masyarakat menjadi inti dari pendidikan multikultural. Pendidikan ini lebih menekankan pada penanaman moral dibandingkan dengan pola-pola pendidikan birokratis yang lebih mengorientasikan pada tampilan kecerdasan pikiran.
Pendidikan multikultural dipandang sebagai proses belajar altematif yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan lokal. Kebijakan otonomi pendidikan mendukung upaya yang mengedepankan kepentingan dan keberagaman lokal. Tantangan bagi pendidikan justru muncul ketika dihadapkan pada upaya mempertahankan keutuhan negara. Sekolah seringkali menjadi alat bagi dominansi otoritas nasional yang memikul beban untuk menjaga integrasi bangsa melalui pengajaran. Adanya kurikulum nasional dan standardisasi ujian merupakan contoh konkrit dari kasus tersebul Hal itu berangkat dari asumsi bahwa keberagaman harus tetap berada dalam keutuhan dan kesatuan, yang pada akhimya memunculkan monokulturalisme.

4.      Pendidikan Multikultural sebagai Penanaman Moral
Dalam membentuk perilaku moral seseorang, proses-proses belajar memegang peranan penting. Untuk itu, pengaruh lingkungan sebagai tempat melakukan proses belajar sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral. Lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat ikut memberikan kontribusi yang pantas diperhitungkan. Lingkungan sekolah, terutama, menjadi institusi sentral yang diharapkan dapat memberikan pendidikan moral. Pada kenyataannya, ada semacam kecenderungan bahwa institusi sekolah terjebak dengan birokrasi persekolahan dan birokrasi kehidupan. Birokrasi tersebut melumpuhkan dan bahkan mematikan alam pikiran merdeka individu dan masyarakat organisasi. Pendidikan moral dan pembentukan moral tidak lagi menjadi komitmen. Orientasi dan perilaku moral dikesampingkan digantikan oleh kecerdasan pikiran, keahlian dan berbagai perilaku tampil di lapisan luar.
Dalam pendidikan multikultural, nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan perlu ditanamkan. Kusmaryani (2006) mengungkapkan sikap superioritas yang justru menghambat pemahaman akan keberagaman perlu dihilangkan. Hal ini seringkali terkait dengan kesukuan, ras, agama, jender dan sebagainya. Kelompok tertentu diharapkan tidak merasa lebih tinggi dari kelompok lain. Untuk itu, kerja belajar kooperatif dan kolaboratif dikembangkan secara aktif dalam memberikan kesadaran akan kesetaraan dan kebersamaan tersebut. Kerja belajar seperti itu akan membiasakan untuk berinteraksi dengan kelompok lain yang memiliki perbedaan. Seseorang akan berupaya bagaimana menyelesaikan tugas-tugas belajar untuk mencapai tujuan yang sarna, meskipun dari kelompok yang berbeda-beda. Kondisi ini memaksa seseorang untuk lebih memahami kelompok lain maupun orang lain agar tujuan dapat tercapai dengan baik.
Kesadaran nilai kemanusiaan juga menjadi hal yang penting. Perlunya pemahaman akan adanya eksistensi manusia secara utuh. Memahami manusia dengan keberadaanya perlu menyadari bahwa manusia memiliki kemerdekaan yang perlu dihargai. Untuk itu, semua yang ada dalam diri manusia penting untuk dipahami ketika berinteraksi dengan manusia lainnya. Cara berpikir demikian akan memberikan konsekuensi munculnya perilaku interaktif yang positif. Perilaku tersebut seperti misalnya penghargaan terhadap orang lain, kesediaan untuk bergotong royong, tidak menghakimi orang lain, empati dan sebagainya. Perilaku moral yang demikian tampaknya perlu dijaga dan dilestarikan.

06.34 - No comments

sosiologi

KONFLIK POSO
Ada fakta sejarah yg sangat menarik bahwa gerakan kerusuhan yg dimotori oleh umat Kristen di mulai pada awal Nopember 1998 di Ketapang Jakarta Pusat dan pertengahan Nopember 1998 di Kupang Nusa Tenggara Timur kemudian disusul dgn peristiwa penyerengan umat Kristen terhadap umat Islam di Wailete Ambon pada tanggal 13 Desember 1998. Dan 2500 massa Kristen di bawah pimpinan Herman Parino dgn bersenjata tajam dan panah meneror umat Islam di Kota Poso Sulawesi Tengah pada tanggal 28 Desember 1998. Apakah peristiwa ini realisasi dari pidato Jendral Leonardo Benny Murdani di Singapura dan ceramah Mayjend. Theo Syafei di Kupang Nusa Tenggara Timur? Tetapi yg jelas Presiden B.J. Habibie yg menurut L.B. Murdani lbh berbahaya dari gabungan Khomaeni Saddam Husein dan Khadafi baru berkuasa 6 bulan saja sehingga perlu digoyang dan kalau perlu dijatuhkan. Apabila fakta-fakta ini dikembangkan dgn lepasnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia Gerakan Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka serta tulisan Huntington 1992 setelah Uni Sovyet yg menyatakan bahwa musuh yg paling berbahaya bagi Barat sekarang adl adalah umat Islam; dan tulisan Jhon Naisbit dalam bukunya Megatrend yg menyatakan bahwa Indonesia akan terpecah belah menjadi 28 negara kecil-kecil; maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa kerusuhan-kerusuhan tersebut adl suatu rekayasa Barat-Kristen utk menghancurkan umat Islam Indonesia penduduk mayoritas mutlak negeri ini. Kehancuran umat Islam Indonesia berarti kehancuran bangsa Indonesia dan kehancuran bangsa Indonesia berarti kehancuran/kemusnahan Negara Kesatuan Republik Indonesia . Oleh krn itu penyelesaian kerusuhan/konflik Indonesia khususnya Poso tidak sesederhana sebagaimana yg ditempuh oleh Pemerintah RI selama ini sehingga tiga tahun konflik itu berlangsung tidak menunjukkan tanda-tanda selesai malah memendam “bara api dalam sekam”. Hal ini bukan saja ada strategi global di mana kekuatan asing turut bermain tetapi ada juga ikatan agama yg sangat emosional turut berperan. Sebab agama menurut Prof. Tilich “Problem of ultimate Concern” sehingga tiap orang pasti terlibat di mana obyektifitas dan kejujuran sulit dapat diharapkan. Karenanya penyelesaian konflik Poso dgn dialog dan rekonsiliasi bukan saja tidak menyelesaikan konflik tersebut sebagaimana pernah ditempuh tetapi malah memberi peluang kepada masing-masing pihak yg berseteru utk konsolidasi kemudian meledak kembali konflik tersebut dalam skala yg lbh luas dan sadis. Konflik yg dilandasi kepentingan agama ditambah racun dari luar apabila diselesaikan melalui rekonsiliasi seperti kata pribahasa bagaikan membiarkan “bara dalam sekam” yg secara diam-diam tetapi pasti membakar sekam tersebut habis musnah menjadi abu.
Pada tanggal 28 Desember 1998 Herman Parino membawa jemaahnya sebanyak 1.000 orang utk memasuki Kota Poso tetapi dicegah oleh Polisi Brimob akibatnya mereka berpencar di luar Kota Poso sebagian dari jemaat gereja meyerang Ummat Islam di desa Buyung Katedo Kecamatan Lage Poso Kabupaten Poso. Penyerangan ini membunuh warga Muslim dan membakar rumah-rumah orang-orang Islam. Jemaat gereja yg masih berkeliaran di luar Kota Poso merasa belum puas terhadap penyerangan desa Buyung Katedo pada tanggal 27 Mei 2000 maka mereka menyerang kembali umat Islam di desa tersebut pada tanggal 3 Juli 2000 dgn jalan membunuh dgn sadis anak-anak wanita-wanita dan orang-orang tua sebanyak 14 orang. Kemudian membakar masjid dan rumah-rumah yg masih tersisa.
Dalam peningkatan konsolidasi umat Kristen Gereja Kristen Sulawesi Tengah membentuk Crisis Centre GKST dipimpin oleh Pendeta Renaldy Damanik. Tidak lama setelah Crisis Centre berdiri maka umat Kristen menyerang Pondok Pesantren Walisongo di desa Sintuwu Lemba Poso dgn membantai umat Islam dan membakar pondok Pesantren tersebut.
Pada tanggal 6 Agustus 2001 171 orang delegasi Pendeta Kristen yg tergabung dalam Gereja Kristen Sulawesi Tengah mendatangi Pemerintah Daerah Kabupatan Poso utk menuntut supaya Kabupaten Poso dibagi dua 50 % utk umat Kristen dan 50 % utk ummat Islam.
Sesuai dgn janji umat Kristen bahwa ummat Islam boleh kembali de daerah-daerah yg dikuasai umat Kristen seperti kecamatan Tentena Poso dgn aman dan selamat; maka Drs. Hanafi Manganti pulang ke daerah Tentena ternyata ia dibunuh dgn sadis; dan bersamanya terbunuh pula seorang wanita muslimah. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 6 Agustus 2001.
Pada tanggal 20 Agustus 2001 umat Islam yg sedang memetik cengkeh di kebunnya di desa Lemoro Kecamatan Tojo Kabupaten Poso diserang oleh 50-60 orang umat Kristen yg berpakaian hitam-hitam membunuh dua orang Muslim dan mengobrak-abrik rumah-rumah orang Islam. Pengungsi Laporan US Comitte of Refugees tentang Indonesia yg diterbitkan Januari 2001 menyebutkan dalam kerusuhan/konflik Poso yg terjadi selama tiga tahun belakangan ini pihak Muslim telah menderita secara tidak seimbang. Dalam laporan itu disebutkan jumlah pengungsi akibat konflik Poso kini sebanyak hampir 80.000 orang dan diperkirakan 60.000 orang adl Muslim.
Para pengungsi ini hidup menderita tanpa kejelasan masa depan mereka; dan mereka kehilangan hak-haknya berupa tanah kebun coklat cengkih kopra rumah harta benda bahkan nyawa sanak-saudaranya. Bantuan makanan obat-obatan sangat terbatas sehingga penyakit senantiasa menghantui mereka. Bantuan hukum umtuk meminta keadilan praktis tidak ada. Bahkan nyawa mereka terancam tiap saat karena diserang pasukan kelelawar Merah .

Pendapat kami mengenai konflik yang sering terjadi di Indonesia
Terjadinya konflik tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
-          Karena tidak adanya keampuhan Pancasila dan UUD 45 yang selama ini menjadi pedoman bangsa dan negara kita mulai digoyang dengan adanya amandemen UUD 45 dan upaya merubah ideologi negara kita ke ideologi agama tertentu.
-          Kurangnya rasa menghormati baik antar pemeluk agama satu dengan yang lainnya ataupun sesama pemeluk agama.
-          Adanya kesalahpahaman yang timbul karena adanya kurang komunikasi antar pemeluk agama.

  1. Mengapa konflik antaragama lebih sulit diatasi dibandingkan dengan konflik yang lain? Jelaskan!

Menurut Jusuf Kalla, konflik suku dapat didamaikan secara adat, sedangkan konflik karena kepentingan politik bisa diatasi dengan memberi konsesi. Kedua konflik ini bisa selesai dengan cepat dan tidak menimbulkan bekas yang mendalam. Berbeda dengan konflik agama yang sangat sulit diatasi tanpa kesadaran yang timbul dari hati nurani kita para pemeluk agama. Konflik antaragama dapat meninggalkan bekas yang mendalam, dan tidak seorang pun dapat bersikap netral dalam mengatasi konflik tersebut.


  1. Sebutkan beberapa upaya konkret yang dapat diwujudkan untuk mengantisipasi konflik yang disebabkan oleh perbedaan agama !

Usaha yang perlu ditempuh antara lain :
-          Menurut Jusuf Kalla, dalam menangani konflik antaragama, jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah saling mentautkan hati di antara umat beragama, mempererat persahabatan dengan saling mengenal lebih jauh, serta menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap agama membawa misi kedamaian.
-          Tidak memperkenankan pengelompokan domisili dari kelompok yang sama didaerah atau wilayah yang sama secara eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili atau perkampungan sebaiknya mixed, atau campuran dan tidak mengelompok berdasarkan suku (etnis), agama, atau status sosial ekonomi tertentu.
-          Masyarakat pendatang dan masyarakat atau penduduk asli juga harus berbaur
atau membaur atau dibaurkan.
-          Segala macam bentuk ketidakadilan struktural agama harus dihilangkan atau
dibuat seminim mungkin.
-          Kesenjangan sosial dalam hal agama harus dibuat seminim mungkin, dan sedapat – dapatnya dihapuskan sama sekali.
-          Perlu dikembangkan adanya identitas bersama (common identity) misalnya kebangsaan (nasionalisme-Indonesia) agar masyarakat menyadari pentingnya persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Perlu dicari tokoh masyarakat yang dipercaya dan/ atau dihormati oleh pihak-pihak yang berkonflik, untuk berusaha menghentikan konflik (conflict intervention), melalui lobi-lobi, negosiasi, diplomasi. Hal ini merupakanusaha peace making.
Dalam usaha untuk mengembangkan adanya perdamaian yang lestari, atau adanya rekonsiliasi, maka metode yang dipakai oleh pihak ketiga sebaiknya adalah mediasi dan bukan arbitrase. Dalam arbitrase, pihak ketiga (pendamai) yang dipercaya oleh pihak-pihak yang bertentangan/berkonflik itu, setelah mendengarkan masing-masing pihak mengemukakan masalahnya, maka si arbitrator “mengambil keputusan dan memberikan solusi atau penyelesaiannya, yang “harus” ditaati oleh semua pihak yang berkonflik.
Penyelesaian konflik melalui jalan arbitrase mungkin dapat lebih cepat diusahakan, namun biasanya tidak lestari. Apalagi kalau ada pihak yang merasa dirugikan, dikalahkan atau merasa bahwa kepentingannya belum diindahkan.
Sebaliknya, mediasi adalah suatu cara intervensi dalam konflik, di mana mediator (fasilitator) dalam konflik ini juga harus mendapat kepercayaan dari pihak yang berkonflik. Tugas mediator adalah memfasilitasi adanya dialog antara pihak yang berkonflik, sehingga semuanya dapat saling memahami posisi maupun kepentingan dan kebutuhan masing-masing, dan dapat memperhatikan kepentingan bersama.
Jalan keluar atau penyelesaian konflik harus diusulkan oleh atau dari pihak-pihak yang berkonflik. Mediator sama sekali tidak boleh mengusulkan atau memberi jalan keluar/penyelesaian, namun dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk dapat mengusulkan atau menemukan jalan penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Mediator tidak boleh memihak, harus “impartial”, tidak bias, dsb.
Mediator harus juga memperhatikan kepentingan-kepentingan stakeholders, yaitu mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik, tetapi juga mempunyai kepentingan-kepentingan dalam atau atas penyelesaian konflik itu. Kalau stakeholders belum diperhatikan kepentingannya atau kebutuhannya, maka konflik akan dapat terjadi lagi, dan akan meluas serta menjadi lebih kompleks dan dapat berlangsung dengan berkepanjangan.
Mengembangkan kegiatan pendamaian itu tidak mudah. Ada beberapa tahapan atau perkembangan yang dapat kita amati yaitu:
a) Peace making (conflict resolution) yaitu memfokuskan pada penyelesaian masalah – masalahnya (isunya: persoalan tanah, adat, harga diri, dsb.) dengan pertama-tama menghentikan kekerasan, bentrok fisik, dll. Waktu yang diperlukan biasanya cukup singkat, antara 1-4 minggu.
b) Peace keeping (conflict management) yaitu menjaga keberlangsungan perdamaian yang telah dicapai dan memfokuskan penyelesaian selanjutnya pada pengembangan/atau pemulihan hubungan (relationship) yang baik antara warga masyarakat yang berkonflik. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang, sehingga dapat memakan waktu antara 1-5 tahun.
c) Peace building (conflict transformation). Dalam usaha peace building ini yang menjadi fokus untuk diselesaikan atau diperhatikan adalah perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidak-adilan, kecemburuan, kesenjangan, kemiskinan, dsb. Waktu yang diperlukan pun lebih panjang lagi, sekitar 5-15 tahun.
Konflik antarumat beragama itu di Indonesia akhir-akhir ini rupa-rupanya sengaja dibuat atau direkayasa oleh kelompok tertentu atau kekuatan tertentu untuk menjadikan masyarakat tidak stabil. Ketidakstabilan masyarakat ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis maupun ekonomis, oleh berbagai pihak. Hal ini sangat berbahaya, karena konflik horizontal dapat dimanipulasi menjadi konflik vertikal, sehingga menimbulkan bahaya separatisme dan disintegrasi nasional atau disintegrasi bangsa.
Untuk menghadapi masalah-masalah konflik dengan kekerasan yang melibatkan umat berbagai agama dalam suatu masyarakat, diperlukan sikap terbuka dari semua pihak, dan kemampuan untuk memahami dan mencermati serta menganalisa sumber-sumber konflik. Demikian juga diperlukan adanya saling pengertian dan pemahaman kepentingan masing-masing pihak, agar dapat mengembangkan dan melihat kepentingan bersama yang lebih baik sebagai prioritas, lebih daripada kepentingan masing-masing pihak yang mungkin bertentangan.
  1. Jelaskan pengaruh faktor sistem pendidikan di Indonesia terhadap munculnya berbagai konflik dengan disertai beberapa contoh !

Menurut Burhanuddin, guru besar dalam bidang perbandingan agama dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, beberapa tahun belakangan pola pembinaan terhadap pendidikan di Indonesia cenderung diskriminatif, yaitu dengan mengembangkan konsep sekolah – sekolah unggulan secara struktural. Dan diskriminasi dalam dunia pendidikan dapat menjadi salah satu pemicu konflik.

RSS